Kamis, 16 Juni 2016

Hadist tentang bacaan i'tidal



“Hadist Tentang Bacaan I’tidal”

I’tidal adalah posisi tegak kembali pada keadaan semula seperti saat sebelum ruku’ (apabila sebelum ruku’ seseorang sholat dengan berdiri maka I’tidalnya berdiri kembali, apabila sebelum ruku’ sholatnya dengan duduk maka i’tidalnya berarti duduk kembali).
Dalil i’tidal ialah sebauh hadits riwayat Muslim (498), dari ‘Aisyah RA, bahwa beliau pernah mensifati shalat Nabi SAW, maka katanya:
 فَكَانَ اِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرُّكُوْعِ لَمْ يَسْجُدْ حَتَّى يَسْتَوِىَ قَائِمًا           
“Maka, apabila beliau mengangkat kepalanya dari ruku, beliau tidak sujud sebelum berdirinya tegak lurus”.
Dan pernah pula Rasulullah SAW menegur seorang lelaki yang tidak cermat dalam shalatnya. Waktu itu beliau mengajarinya bagaimana cara shalat:
 ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَعْتَدِلَ قَائِمًا (رواه البخارى 724 ومسلم 397
“Kemudian bangkitlah kamu, sehingga kamu tegak berdiri”. (H.R. al-Bukhari: 724, dan Muslim: 397). 
Menurut pendapat Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Ahmad; makmum membaca "Robbanaa lakal hamdu.." setelah imam membaca "Sami'allahu liman hamidah". Pendapat ini juga diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud, Abu Hurairah, Asy-Sya'bi, Ats-tsauri, Auza'i, Abu Yusuf dan Ibnul Mundzir.
Diantara dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda;
إِنَّمَا جُعِلَ الإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ، فَلاَ تَخْتَلِفُوا عَلَيْهِ، فَإِذَا رَكَعَ، فَارْكَعُوا، وَإِذَا قَالَ: سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ، فَقُولُوا: رَبَّنَا لَكَ الحَمْدُ
"Dijadikannya Imam adalah untuk diikuti, maka janganlah kalian menyelisihnya. Jika ia rukuk maka rukuklah kalian, jika ia mengucapkan 'SAMI'ALLAHU LIMAN HAMIDAH' maka ucapkanlah, 'RABBANAA LAKAL HAMDU'." (Shahih Bukhari, no.722 dan Shahih Muslim, no.411)
Menurut pendapat madzhab Syafi'i makmum membaca setelah makmum juga membaca "Sami'allahu liman hamidah" setelah imam membaca "Sami'allahu liman hamidah". Pendapat ini juga dikemukakan oleh Atho', Abu Burdah, Muhammad bin Sirin dan Imam Dawud.
Ketetapan tersebut didasaran pada kemumuman sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam;
صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي
"Sholatlah kalian, sebagaimana kalian melihatku sholat." (Shahih Ibnu Hibban, no.1656)
Dari hadits diatas dipahami bahwa senua pebuatan dan ucapan Nabi ketika sholat maka makmum juga mengikuti, termasuk ketika beliau menjadi imam sholat, maka makmum juga mengikutinya.
Sedangkan menanggapi hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah diatas mereka menjelaskan bahwa Nabi memerintahkan para sahabat yang menjadi makmum untuk membaca "Robbanaa lakal hamdu.." setelah mendengar imam membaca "Sami'allahu liman hamidah" maksudnya bacalah "Robbanaa lakal hamdu.." setelah membaca "Sami'allahu liman hamidah", karena para sahabat sudah tahu bahwa ketika sholat mereka diperintahkan untuk mengikuti gerakan dan ucapan Nabi, termasuk dalam hal membaca "Sami'allahu liman hamidah", namun karena seringkali mereka tidak mendengar saat Nabi membaca "Robbanaa lakal hamdu.." sebab dibaca pelan, maka mereka diberi tahu untuk membaca "Robbanaa lakal hamdu.." dan tak perlu lagi diberi tahu untuk membaca "Sami'allahu liman hamidah".
Menurut madzhab Maliki, Syafi’I, dan Hambali I’tidal tergolong rukunnya sholat yang apabila tidak dikerjakan (dengan kesengajaan) berakibat batalnya sholat (berdasarkan hadits diatas) sedang menurut Maszhab Hanafi I’tidal tidak termasuk rukunnya sholat tapi termasuk wajibnya sholat dalam arti apabila I’tidal tidak dikerjakan sholatnya tetap sah hanya saja berdosa karena meninggalkan barang wajib.
Terjadi perbedaan pendapat tentang kesunnahan bersedekap atau tidaknya tangan sewaktu I’tidal karena tidak terdapatkannya satu hadits yang secara pasti mejelaskan tentang sedekap ketika i'tidal, kecuali dua hadits yang dipergunakan sebagian ulama untuk menunjukkan sunnahnya perbuatan ini.
كَانَ النَّاسُ يُؤْمَرُوْنَ أَنْ يَضَعَ الرَّجُلُ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى ذِرَاعِهِ الْيُسْرَى فِيْ الصَّلاَةِ
"Orang-orang dahulu diperintahkan untuk meletakkan tangan kanannya di atas hasta tangan kirinya dalam shalat". [HR. Bukhari].
كَانَ إِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ اسْتَوَى حَتَّى يَعُوْدَ كُلُّ فَقَارٍ مَكَانَهُ
"Apabila mengangkat kepalanya (bangkit dari ruku'), maka beliau Saw meluruskan (badannya) hingga semua rangkaian tulang belakangnya kembali ke posisinya". [HR. Bukhari].
Kedua hadits di atas tidak secara jelas menunjukkan hukum perbuatan tersebut. Oleh karena itu, para ulama berbeda pendapat dalam mensikapi permasalahan sedekap, dan perbedaan pendapat ini sudah berlangsung sejak zaman Imam Ahmad bin Hambal sedang memurut Imam Syafi'i dalam kitab Al-Umm dan dalam literatur kitab-kitab Fiqh Syafi'iyyah yang lain posisi tangan sewaktu i'tidal yang lebih utama dilepas (tidak bersedekap) kecuali bila dikhawatirkan terjadi 'abats (mengganggu konsentrasi dalam sholat).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar